Kamis, 25 November 2010

Hemat Listrik 30% dan Air Hingga 50% Dengan GREEN DESIGN


Hemat Listrik 30% dan Air Hingga 50% Dengan GREEN DESIGN


       Di negara maju, upaya menciptakan karya arsitektur ramah lingkungan sudah dimulai sejak pertengahan abad 20. Konsep ini lahir berkat kesadaran para perancang profesional yang terkait dengan bidang pembangunan, seperti arsitek, perancang interior dan perancang lansekap terhadap pentingnya kelestarian lingkungan terutama pada perumahan. Inti dari green design adalah dimasukkannya lingkungan sebagai bagian penting pada perencanaan karya arsitektur.

Rumah yang tidak dirancang harmonis dengan alam bukan saja membuat penghuninya tidak nyaman, tapi juga boros biaya. Membayangkan hunian kita dilengkapi oleh AC sebagai pendingin ruangan disaat angin sungguh tak melegakan keluar masuk ruangan, dan lampu-lampu sebagai penerang disaat siang hari tak juga menjamin sinar matahari bisa masuk ke dalam rumah, adalah bagian kecil dari tak harmonisnya desain rancang bangun rumah dengan lingkungan. Meski demikian, masih saja masyarakat kita secara sadar melakukan cara-cara ‘klasik’ moderen ini sebagai solusi praktis. Padahal alam akan mendatangkan manfaat cukup besar jika rancang bangun hunian berorientasikan pada green architecture (arsitektur hijau) yang lebih tanggap pada isu-isu lingkungan. 

Lewat konsep green design inilah, perancang tampaknya mencoba berdamai dengan alam. Jadi, kalau akan membuat rumah, bukan hanya fokus pada rumahnya saja, tapi juga lingkungan sekitar rumah. Ada beberapa prinsip dasar green design, yaitu pertama hemat energi. Suatu bangunan haruslah dirancang untuk bisa bersahabat dengan sumber energi, yakni cahaya matahari. Karena itu, penting dipertimbangkan sistem sirkulasi udara maupun pencahayaan. Salah satu langkah konkretnya,
misalnya dengan membuat banyak bukaan pada rumah. Bisa dengan memasang jendela dan pintu berukuran besar, menggunakan atap atau genteng yang tembus cahaya, dan ventilasi. 

Kedua hemat air. Contoh langkah penghematan air misalnya menggunakan shower di kamar mandi. Selain itu, bisa juga dibuat bak penampungan air hujan di mana airnya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Adanya ruang terbuka hijau bisa dikatakan menjadi syarat mutlak konsep green design. Sebuah rumah atau bangunan haruslah mempunyai lahan terbuka hijau yang ditumbuhi aneka tumbuhan sebagai penyuplai oksigen. Tumbuhan juga bisa berfungsi sebagai penyerap air, membuat udara menjadi lebih sejuk, dan membuat rumah menjadi indah dipandang. Yang tak kalah penting adalah pengelolaan limbah rumah tangga. 

Limbah bangunan dan rumah tangga merupakan salah satu penyumbang terbesar pencemaran tanah dan air. Karena itu perlu direncanakan proses konstruksi dan operasional bangunan dengan sangat hati-hati agar limbahnya bisa ditangani dengan proses yang ramah lingkungan. Ini bisa dilakukan dengan merancang sistem pembuangan yang terencana. Membiasakan diri untuk tidak terlalu banyak menghasilkan sampah plastik, deterjen, dan menyediakan tempat sampah dengan jumlah memadai di lingkungan rumah. Dan sebaiknya, pembuangan sampah organik dan non organik pun dilakukan terpisah dan khusus, tidak asal dibuang ke saluran pembuangan.


      Jogja Green Design


Masyarakat Yogyakarta, dengan kekhasan budaya, sosio culture, aktifitas ekonomi, dari masa ke masa telah melakoni aktifitas arsitektural yang cukup sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan kawasan Yogyakarta yang ramah lingkungan. Menurut pendapat Agus Handoko yang mengibarkan bendera MAA Arsitektur, diantara masyarakat Yogyakarta sendiri masih ada sebagian yang belum sepenuhnya memahami dan melaksanakan aktifitas-aktifitas arsiteknya dengan mengacu kepada prinsip-prinsip kearifan dan kelestarian lingkungan. 

Perancangan ramah lingkungan atau dikenal sebagai green design merupakan sebuah spirit atau roh, yang menjadi semangat, energi, emosi dari siapapun yang sedang melaksanakan aktifitas pembangunan. Telah mengenai green design, bukan pula merupakan sesuatu yang trend – trendy – gaya sebuah bangunan/model.

 Dalam mendesain, ada kebebasan mengekspresikan seluruh komponen-komponen desain yang ada, tetapi melewati tahapan-tahapan yang sudah dikategorikan oleh perancangan green, sehingga pada gilirannya jika itu sudah teradaptasi, terkolaborasi, terkonsolidasi, muncullah sebuah desain yang tidak uzur secara gaya/model.


Bangunan Ramah Lingkungan Syaratkan Efisiensi.

Konsep bangunan ramah lingkungan (green building) didorong menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Bangunan ramah lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim mikro. Poin terbesar dalam konsep ini adalah penghematan air dan energi serta penggunaan energi terbarukan. Di Indonesia akses energi terbarukan masih lemah. Suplai energi listrik untuk properti hanya mengandalkan PT. PLN yang belum menggunakan sumber energi terbarukan.

Di banyak negara, penerapan konsep green building terbukti menambah nilai jual. Namun, di Indonesia masih butuh proses edukasi panjang. Hingga saat ini kebanyakan pelaku bisnis properti di Indonesia masih enggan mengadopsi sistem tersebut karena dianggap mahal, sulit, dan tidak layak secara bisnis. Kendati biaya konstruksi awal bertambah sekitar 2 persen dari bangunan konvensional, namun return yang diperoleh properti itu dalam jangka waktu 20 tahun bisa mencapai sepuluh kali lipat atau sekitar 20 persen dari tambahan biaya yang dikeluarkan. Pengembalian ini, diperoleh berkat biaya operasional yang dapat ditekan antara lain dengan penghematan biaya listrik 30 persen dan air hingga 50 persen.

Selain itu, implementasi konsep ini juga menunjukkan tindakan moral pelaku properti yang peduli terhadap isu pemanasan global, dimana mereka tidak hanya memikirkan keuntungan semata, namun juga prihatin terhadap masalah global.






Menjual Lingkungan


Kata sepakat bahwa bisnis orientasi inilah yang sebenarnya menjadi tema-tema penting bagi para developer di Yogyakarta saat ini, meski sudah ada sebagian yang memulai untuk tidak saja mengedepankan aspek-aspek bisnis semata, tetapi mulai mensejajarkan antara aspek lingkungan yang memang harus memberikan kontribusi positif pada kawasan yang mereka develop. Maka aspek-aspek positif ini yang diberdayakan dengan cara membuat komposisi antara fasum, lansekap, open space dengan berimbang. Ini menjadi sebuah kebutuhan berbudaya. Tidak hanya menjadi kiat-kiat praktis, tetapi peran-peran penting dari pihak terkait, pemerintah daerah setempat, misalnya, yang justru bisa memberi koridor-koridor penting yang akan menjadi pola-pola yang dilalui para developer. 

Proyek percontohan kawasan atau perumahan dengan konsep green design yang berjalan sebagai eksperimen, adalah salah satu cara yang bisa diperkenalkan kepada masyarakat yang cenderung mudah mengadopsi sebuah produk perumahan. 

Bahwa aspek lingkungan juga memegang peran penting dalam tingkat kelarisan produk perumahan. Hal ini sudah dimulai di kota-kota kecil yang lain, bukan hanya Jakarta, Bandung; kota Malang, misalnya, lingkungan diperlakukan secara maksimal oleh developer. Harapan dari proyek ini adalah tumbuhnya respon market terhadap produk gaya perumahan itu sehingga berkembang, dan tidak melulu dipaksa hanya mengutamakan aspek bisnis semata.

Memang, semua kembali pada pasar. Karena ini masalah selera. Secara naluriah masyarakat mudah sekali diajak menyukai sesuatu yang asri. Jika pasar sudah memilih produk tertentu, produsen manapun akan mengikuti. Developer dengan observasi khusus, dengan telaah statistik marketing mereka, akan berani mengarah pada satu produk tertentu yang lebih mendekati selera itu. 

Misalnya, membuat kawasan perumahan yang tidak banyak, tetapi dibuat dengan komposisi taman dan model bangunan yang menyerupai betul apa yang dimaksud dengan green design. Lalu dilihat responnya bagaimana, harga, dan lain-lain. 



Sumber:
Naskah : Via Christy
RumahJogja

Tidak ada komentar: